Jumat, 27 Mei 2016

Hilal Yang Hilang 2 Tahun Sekali

Kurang dari 2 minggu lagi muslim akan didatangi oleh bulan Ramadan, bulan dimana yang menurut saya bulan untuk menabung masa depan. Sebagian muslim bahkan tiba-tiba menjadi religius di bulan ini, sungguh bulan yang penuh berkah.

Tapi sisi religius muslim memiliki ketidak konsistenan terhadap hukumnya, terutama yang ingin saya bahas adalah hukum penentuan waktu, Hisab dan Rukyat.

Hisab adalah metode penentuan/perhitungan secara astronomi dan matematik untuk mengetahuhi posisi Bulan dan Matahari secara tepat yang bisa dihitung keakuratan posisinya bahkan hingga ratusan tahun kedepan. Contohnya jadwal Salat.
Sedangkan Rukyat adalah metode pengamatan posisi Bulan dan Matahari dengan pandangan mata, atau penentuannya hanya berlaku pada waktu tersebut saja. Contohnya pengamatan hilal Ramadan & hilal Syawal.

Apakah kamu merasa ada yang janggal? Sebagian besar muslim Indonesia tidak konsisten terhadap metode mana yang harus dipegang, di beberapa waktu mereka secara keras mengharuskan pengamatan secara Rukyat, tetapi di waktu-waktu lain mereka menggunakan Hisab dan mengabaikan pembuktian secara Rukyat.

Memang, tidak ada yang salah dari kedua cara tersebut, tapi sangat konyol dan tidak adil kalau menurut saya, jika kamu hanya melakukan dan mengharuskan menggunakan Rukyat hanya untuk 1 Ramadan dan 1 Syawal saja, mengapa kamu tidak menggunakannya juga di bulan-bulan yang lain? Dan mengapa kamu tidak menggunakannya juga untuk menentukan waktu Salat, termasuk waktu Imsak dan Magrib?

Kamu menentukan waktu 1 Ramadan dengan Rukyat, tapi kamu berpegang pada Hisab untuk waktu Imsak dan Magrib untuk memulai dan menutup ibadah puasa. Kamu berhenti Sahur tepat waktu pada 10 menit sebelum waktu Subuh yang ditentukan secara Hisab (perhitungan astronomi), di detik yang sangat tepat. Sedangkan jika kamu menggunakan cara Rukyat, Imsak adalah perkiraan waktu dimana sebelum ada tanda-tanda jika Matahari akan terbit dengan perkiraan selisih waktu ke terbitnya Matahari sekitar lamanya membaca 50 ayat, atau sekitar 15 menit. Saya ulangi, sekitar 15 menit, bukan tepat 10 menit. Pengamatan secara Rukyat juga memiliki "margin error" sekitar ± 5 menit, jadi selisih waktu antara Imsak yang diamati secara Rukyat bisa bervariasi antara 10 menit hingga 20 menit dari waktu Subuh yang ditentukan dengan cara Hisab. Begitu juga dengan berbuka puasa, mengapa tidak ada lembaga khusus di setiap daerah untuk mengamati posisi Matahari untuk waktu-waktu ini?

Menurut saya, jika sudah ada cara yang bisa menunjukan waktu dengan tepat dan dengan mudah, mengapa kamu harus susah payah menggunakan cara lama yang tidak akurat dan bisa menimbulkan selisih waktu antar jemaah? Pengamatan secara Rukyat bisa bervariasi berdasarkan posisi/lokasi pengamatan, cuaca juga sangat berpengaruh. Kalau saja Indonesia hanya selebar Singapura, Brunei, atau Mesir saja, perbedaan tempat dan cuaca mungkin tidak akan membuat perbedaan yang signifikan. Kenyataannya, Indonesia sangatlah melebar di Khatulistiwa dengan bentangan tiga zona waktu, banyak muslim yang hanya mau enaknya saja memilih penentuan tanggal 1 Ramadan yang paling telat dan memilih 1 Syawal yang paling awal, muslim macam apa mereka itu? Padahal jika dihitung secara Hisab, waktu yang ditentukan adalah sangat pasti dan bisa ditunjukan kapan waktunya di setiap lokasi di seluruh tempat di Indonesia.

Konsistenlah terhadap paham, kalau kamu memegang Hisab, peganglah Hisab dan jika kamu memegang Rukyat, peganglah Rukyat. Jangan buat perbedaan karena tidak konsistennya hukum yang kamu pegang.

1 komentar: